Selasa, 08 September 2009



klaim malaisya

Tari Pendet dan Klaim Malaysia




Apa yang ditunjukkan Malaysia seharusnya bukan hanya membuat rasa nasionalisme kita tersentil. Tapi nasionalisme yang produktif, seperti digagas mendiang Nurcholish Madjid. Menurut Cak Nur, kita harus menjadi bangsa yang lebih kompetitif dengan karya-karya nyata yang mengharumkan bangsa.

ADA saja duri yang coba ditancapkan Malaysia pada bangsa Indonesia sehingga kita terluka. Malaysia sungguh tengah mengidap megalomania dan terobsesi dengan slogan pariwisata “Truly Asia”, sehingga karya seni di semua bidang kehidupan yang dihasilkan orang Melayu, termasuk Indonesia, dianggap warisan budaya mereka.

Setelah klaim atas lagu Rasa Sayange, reog Ponorogo, kini giliran tari Pendet dari Bali, yang muncul dalam iklan Visit Malaysian Year yang ditayangkan di Discovery Channel. Tak ayal, iklan ini mendapat protes dari Pemerintah Indonesia.

Bahkan, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik mengimbau agar rakyat Indonesia betul-betul marah atas klaim Malaysia terhadap tari Pendet. Masyarakat Bali juga tak rela kesenian tradisonalnya, Tari Pendet, diklaim Malaysia. Mereka mendesak pemerintah bersikap tegas dan membawa persoalan ini ke mahkamah internasional.

Setelah menimbulkan kontroversi, Discovery Channel menarik iklan Visit Malaysian Year, yang di dalamnya terdapat sekuel Tari Pendet, pada Senin (24/8/2009). Malaysia mengaku tidak mengklaim tari Pendet sebagai bagian tarian nasionalnya. Iklan yang mencuplik tari Pendet dibuat oleh swasta.
Tapi toh, tari Pendet sudah telanjur ditayangkan. Dalam level hubungan antarbangsa, apalagi serumpun, tampaknya para pemegang kekuasaan di Malaysia sungguh tidak memahami perasaan terluka dan kemarahan kita. Berbagai analisis bisa dibuat untuk kasus Pendet ini.
Penulis jadi teringat, apa yang terjadi dalam relasi RI-Malaysia belakangan ini semakin membenarkan tesis “The clash within civilizations” dari Dieter Senghaas, guru besar Universitas Tubingen Jerman.
Dalam buku terbitan Routledge, London, 2002 itu, terjemahan dari edisi asli berbahasa Jerman yang diterbitkan Suhrkamp Verlag Frankfurt 1998), disebutkan bahwa sejarah dunia seringkali banyak dikejutkan oleh konflik, benturan atau bahkan perang delam internal suatu peradaban yang sama atau serumpun.
Tentu saja tesis ini tidak hendak meremehkan hebatnya tesis “The clash of civilizations” atau benturan antarperadaban dari Samuel P Huntington, yang sudah seringkali dibahas di media kita.
RI dan Malaysia merupakan serumpun, sama-sama suku bangsa Melayu. Sejarah menunjukkan konflik terus berulang dalam siklus atau kurun waktu tertentu sejak kedua negara berdiri (RI pada 17 Agustus 1945 dan Malaysia pada 31 Agustus 1957). Yang terbesar adalah Konfrontasi RI-Malaysia, gara-gara Malaysia menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak dalam Federasi Malaysia, pada 16 September 1963.
Brunei menolak bergabung dan Singapura keluar, 9 Agustus 1965, setelah dua tahun bergabung. Menurut Bung Karno, federasi itu skenario imperialis Inggris. Apipun membakar kedua negara, baik di level diplomasi maupun di lapangan. Saat PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap, Bung Karno memutuskan RI keluar dari PBB dan membentuk Conference of New Emerging Forces, Conefo (Konferensi Kekuatan Baru). Dunia olahraga ikut terseret. Sebagai tandingan Olimpiade, Bung Karno menggelar GANEFO (Games of the New Emerging Forces) di Senayan, 10-22 November 1963.
Sementara pada 28 Juni 1965, pasukan Indonesia dibantu Rusia dan Republik Rakyat Tiongkok menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan berhadapan dengan Regimen Askar Melayu Di Raja. Malaysia minta pasukan Australia untuk ditempatkan di Kalimantan Utara dan menjadikan jumlah pasukan Persemakmuran meningkat menjadi 14.000 orang. Indonesia kalah.
Bersamaan dengan G30 SPKI 1965, konfrontasi RI-Malaysia diam-diam menurun tensinya. Naiknya Jendral Soeharto yang mendapat dukungan Amerika, Inggris dan Australia, membuat konfrontasi dengan Malaysia tak dilanjutkan. Bahkan, sejak 28 Mei 1966, RI-Malaysia sepakat mengakhiri konflik, bahkan kedua negara menjadi penyokong utama terbentuknya ASEAN, 8 Agustus 1967.
Hampir selama 32 tahun Pak Harto berkuasa, relasi RI-Malaysia tampak harmonis. Indonesia mengekspor guru-guru pada dekade 1970-an dan ikut mencerdaskan Negeri Jiran. Sementara mulai dekade 80-an dan 90-an, Indonesia mengekspor TKI, khususnya para kuli bangunan yang ikut mendirikan banyak proyek dan bangunan di Malaysia.
Tak lupa juga para pembantu rumah tangga. Jumlah TKI/TKW Indonesia mencapai 1,8 juta orang dan per tahun membawa devisi Rp 24 triliun. Entah mengapa, sejak merasa maju dan bisa melebihi Indonesia, arogansi warga Malaysia kian menjadi.
Mereka menyebut warga kita yang bekerja di sana sebagai ”orang Indon” sebuah sebutan yang menghina. Mendiang mantan Menlu Ali Alatas mengingatkan soal TKI ini bisa menjadi bom waktu yang siap meledak lebih besar lagi daripada kasus pemukulan Donald, jika tidak segera diselesaikan oleh kedua pihak.

Tentu masih banyak bom waktu lain antara RI-Malaysia, seperi kasus Ambalat. Lalu kasus dalang teroris asal Malaysia seperti Noordin M Top yang belum tertangkap dan terus membujuk orang-orang muda kita. Masalah lain adalah persaingan di sektor pariwisata, bisnis dan hak paten.

Apa yang ditunjukkan Malaysia seharusnya bukan hanya membuat rasa nasionalisme kita tersentil. Tapi nasionalisme yang produktif, seperti digagas mendiang Nurcholish Madjid. Menurut Cak Nur, kita harus menjadi bangsa yang lebih kompetitif dengan karya-karya nyata yang mengharumkan bangsa.

Menurutnya, SDM kita misalnya, harus terus dibenahi sehingga setidaknya bisa melebihi Malaysia. Dulu mereka mengimpor guru, kini kita hanya mampu mengekspor tenaga kasar sehingga telah terjadi perbudakan di zaman modern. Kita harus marah, tetapi setelah marah reda, kita harus bekerja keras untuk mengatasi ketertinggalan kita dari Malaysia.

Minggu, 06 September 2009




ShoutMix chat widget

Jumat, 28 Agustus 2009